Rabu, 04 November 2009

Peran BP4

PERAN BP4 DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT YANG

SEDANG BERUBAH

A. Latar Belakang Masalah:

Keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat, bahkan sebagai jiwa dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup dalam masyarakat bangsa tersebut. Pernyataan ini sesungguhnya merupakan hakikat dari kehidupan keluarga dan sekaligus kesimpulan dari hampir semua pakar dari berbagai disiplin ilmu. Dalam kaitan ini, Islam sangat konsen dan memberikan perhatian secara serius terhadap pembinaan keluarga dan bahkan dapat dikatakan hampir sepadan dengan pembinaan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan.[1] Itulah sebabnya mengapa Islam mendorong umatnya untuk secara sungguh-sungguh memikirkan kehidupan keluarga, karena apabila keluarga diibaratkan sebagai satu bangunan, maka ia harus didirikan di atas pondasi yang kuat agar dapat bertahan dalam menghadapi goncangan kehidupan yang carut-marut seperti sekarang.

Pondasi yang kuat bagi tegaknya kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama. Oleh karena itu, jika ajaran agama dijadikan sebagai pegangan kehidupan kekeluargaan, dapat dipastikan kehidupan kekeluargaan akan mampu eksis dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keluarga, sebagaimana digambarkan di atas, dapat menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat yang kuat. Atau dalan istilah lain, keluarga adalah tiang negara, karena dengan keluarga negara bisa menjadi bangkit atau bisa runtuh. Oleh karena itu, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkaitan dengan tujuan perkawinan ini, perceraian merupakan bentuk kegagalan pasangan suami-isteri dalam mencapai keluarga bahagia, dan kekal tersebut.[2]

Penelitian model ini dapat didekati dari berbagai perspektif, salah satunya adalah penelitian antropologi. Salah satu dari empat program penelitian antropologi tradisional yang masih dianut adalah studi-studi perbandingan mengenai berbagai sistem kekerabatan dalam suatu area kultural. Artinya, melepaskan beberapa masalah yang terkandung dalam definisi lintas-kultural mengenai kekerabatan.[3] Problema utama penelitian tentang kekerabatan adalah tantangan dari para relativis kultural bahwa tidak ada satupun bidang kekerabatan yang bersifat universal. Gagasan yang hampir sama mengenai perkawinan, keturunan, organisasi keluarga, dan moralitas kekerabatan dapat ditemukan di sebagian besar masyarakat[4].

Di abad 21, abad globalisasi dan kemajuan teknologi utamanya teknologi komunikasi ini, masyarakat dunia tertegun dan bertanya-tanya dengan munculnya berbagai krisis yang menimpa kehidupan. Pergeseran peran dan hubungan dalam keluarga, pembagian kekayaan yang tak adil, keruntuhan moral dan harga diri, konsumerisme, homeless dan pengangguran besar-besaran, kekerasan, kemiskinan, ambruknya isntitusi-instutusi kehidupan tradisional, serta sederet lagi himpunan krisis yang menimpa masyarakat. Salah satu cara menghadapi berbagai krisis adalah dengan berlindung dan kembali ke keluarga. Tetapi timbul problema baru, karena keluarga sekarang bukan lagi tempat perlindungan yang aman, nyaman, dan teduh. Keluarga juga telah terpecah, dan mengalami krisis. Krisis institusi keluarga, bahkan keluarga merupakan bagian yang parah terimbas krisis kehidupan di abad 21 ini.[5]

Menjadi keinginan dan cita-cita seluruh lapisan dan kelompok masyarakat untuk selamat dari gelombang globalisasi, memperoleh keuntungan dari kemajuan teknologi, menyelematkan kembali keluarga yang telah terhentak gelombang. Mungkin saja semua pihak masyarakat, negara telah berbuatnya. Namun semua orang merasakan hasil upaya tersebut belum terasa hasilnya. Keluarga-keluarga yang seharusnya melindungi dirinya dari hentakan tersebut, nampaknya tidak berdaya, bahkan sepertinya justru hanyut dalam gelombang eforia kebebasan, hedonistis, materialistis, dan sejenisnya.

Para ahli memprediksi keluarga masa depan. Horton dan Chester L. Hunt, berdasarkan kenyataan, memprediksi setiap dua perkawinan, satunya akan bercerai, maka sebuah keluarga tidak akan lenyap. Namun ahli yang lainnya percaya bahwa keluarga batih akan ambruk dan akan digantikan dengan pasangan “bebas”, berganti-ganti tidak terikat anak, kawan dekat, dan tetangga sebagaimana ditemukan pada masa-masa lalu. Sebaliknya, beberapa ahli keluarga meramalkan bahwa dalam dekade yang akan datang, keluarga akan semakin terstruktur dan tradisional. Oleh karena itu, keluarga batih akan tetap bertahan karena belum pernah ada masyarakat kompleks yang dapat bertahan tanpa batih. Dengan demikian, tidak ada keraguan mengenai apakah sebuah sebuah keluarga akan bertahan. Namun arah perubahan keluarga yang tidak dapat diramal secara pasti ke mana arahnya.[6]

Meskipun demikian, dapat diinventarisir beberapa perubahan dari dulu sampai sekarang, yang sekaligus menjadi tantangan keluarga pada masa akan datang. Perubahan tersebut mencakup:[7] (i) Perubahan struktur keluarga; (ii) Perubahan fungsi keluarga; (iii) Perubahan nilai perceraian; dan (iii) Perubahan yang mempengaruhi tingkat perceraian dalam masyarakat.

Sejak lama (sekitar 1956) para pemimpin bangsa telah mengantipasi perubahan zaman yang menjadi tantangan, ancaman bagi keluarga, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang penasehatan keluarga. Lembaga-lembaga ini tersebar di Jawa Barat, Yogyakarta, Jakarta, bahkan juga di kota-kota luar Jawa. Kemudian, guna mencapai daya-guna dan daya-hasil, lembaga-lembaga penasehatan ini menyatu menjadi Badan Penasehatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4), yang sejak tahun 2002 berubah nama menjadi Badan Penasehatan Pelestarian Perkawinan (BP4). BP4 ini sejak pembentukannya sampai sekarang merupakan satu-satunya lembaga yang bergerak di bidang penasehatan perkawinan di lingkungan Departemen Agama.[8] Bahkan, barangkali BP4 merupakan sebuah lembaga yang bergerak di bidang pembinaan keluarga terbesar di Indonesia ini. Secara nasional, terdapat sebuah BP4 Pusat, hampir 33 BP4 provinsi, 400-an BP4 kabupaten/kota, ribuan BP4 kecamatan, dan sejak 2004 di beberapa desa/kelurahan dibentuk BP4 kelurahan/desa.

Pada masanya, peranan BP4 cukup besar dalam memelihara keutuhan keluarga. Menurut data di Departemen Agama, angka perceraian antara 1950-an s/d 1970-an, jumlah perceraian secara nasional mencapai separoh dari jumlah perkawinan yang terjadi di masyarakat. Namun sejak tahun 1970-an, angka perceraian tersebut terus menurun, dan dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 yang salah satu asasnya mempersulit perceraian, jumlah perceraian semakin menurun. Sejak tahun 1990- an, angka perceraian terus bertahan sekitar 6 -7% dari angka perkawinan di seluruh Indonesia.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas mempersulit perceraian.[9] Asas ini dijabarkan dalam Pasal 39 UU yang mengatur tata cara perceraian tersebut, dan dijabarkan dalam dua ketetapan. Pertama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Kedua, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. Ketiga, diatur dalam peraturan perundangan sendiri.[10] Ketentuan ini lebih lanjut dijabarkan Pasal 14 s/d 36 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dari segi Tupoksi, penasehatan pasangan-pasangan yang bermasalah (akan bercerai) ini adalah (utamanya yang akan berperkara di Pengadilan Agama) menjadi tugas BP4 kabupaten/kota. Di samping BP4 kecamatan yang bertugas memberi nasehat kepada pasangan-pasangan yang akan menikah. Namun kini, di samping lembaga penasehatan BP4 tumbuh beragam lembaga-lembaga konsultasi keluarga, seperti lembaga psikologi keluarga, lembaga-lembaga konsultasi keluarga, lembaga perjuangan kesetaraan jender, perlindungan perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, advokasi hokum, dan lain-lain, yang bertugas mendampingi pasangan-pasangan bermasalah.

Dalam konteks Bangka Belitung, secara garis besar dalam pelbagai wilayah sebenarnya peran BP4 belum teraplikasi secara maksimal. Maksimalisasi peran BP4 baru terlaksana pada sebagian kecil daerah, seperti di daerah Pangkal Pinang kota, secara spesifik berada di KUA (Kantor Urusan Agama) Bukit Intan dan di Tanjung Pandan, Belitung. Hal ini disebabkan karena akses masyarakat di sebagian besar kedua tempat tersebut sudah sangat mudah sehinngga hubungan dengan pihak BP4 menjadi berjalan dengan baik.

Maksimalisasi ini dalam arti, seperti memberi penyuluhan selama sepuluh hari sebelum menikah dari pihak BP4 terhadap kedua calon mempelai yang akan menikah. Sebab secara teoretis, BP4 mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan kepada setiap pasangan yang akan menikah setidaknya sepuluh hari sebelum proses akad nikah dilakukan pada hari pernikahannya. Setelah itu kedua pasangan tersebut layak mendapat Piagam Penasehatan Pra Perkawinan yang dikeluarkan secara resmi oleh BP4.

Begitu pula pelbagai bentuk penyuluhan setelah proses perkawinan yang dilakukan oleh BP4 terhadap masyarakat luas di Bangka Belitung masih belum maksimal perannya. Sebagian besar BP4 yang berada di berbagai daerah belum menunaikan tugas mereka secara maksimal selain hanya dalam dua tempat tersebut, yaitu Bukit Intan, Pangkal Pinang, Bangka dan Tanjung Pandan, Belitung.[11] Pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan BP4 sebagai lembaga pembina keluarga di tengah globalisasi, kemajuan teknologi, perubahan nilai serta pergeseran pola hubungan keluarga Indonesia, dan akhirnya bagaimana cara meningkatkan peran BP4 di masa akan datang.

B. Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pandangan masyarakat terhadap keberadaan BP4, dukungan masyarakat, peran BP4 dalam membina keluarga bahagia dan menurunkan angka perceraian, serta saran mereka untuk BP4 di masa depan. Pandangan masyarakat ini berkaitan dengan atau didasari oleh struktur keluarga, fungsi keluarga, pandangan hidup/nilai, dan faktor-faktor yang yang mempengaruhi tingginya angka perceraian. Secara terurai, masalah penelitian ini dapat dipaparkan dalam pertanyaan penelitian berikut:

  1. Bagaimana sistem sosial yang berlaku di wilayah penelitian? (Bangka Belitung)
  2. Bagaimana sistem keluarga yang dianut di wilayah penelitian? (Babel)
  3. Bagaimana pandangan masyarakat tentang perkawinan?
  4. Bagaimana pandangan masyarakat tentang perceraian?
  5. Bagaimana peran BP4 dalam pembinaan keluarga menurut masyarakat?
  6. Bagaimana saran masyarakat terhadap upaya peningkatan peran BP4 tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sistem sosial yang berlaku di wilayah Bangka Belitung.

2. Mengetahui sistem keluarga yang dianut di Bangka Belitung.

3. Mengetahui pandangan masyarakat tentang perkawinan.

4. Mengetahui pandangan masyarakat tentang perceraian.

5. Mengetahui peran BP4 dalam pembinaan keluarga menurut masyarakat.

6. Mengetahui saran masyarakat terhadap upaya peningkatan peran BP4 tersebut.

D. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pandangan masyarakat, keberadaan dan peran BP4 dalam membina keluarga di Indonesia, terutama di Bangka Belitung. Hasil penelitian ini akan berguna bagi penyusunan kebijakan Departemen Agama dalam bidang pembinaan keluarga, khususnya bagi peningkatan kinerja BP4.

E. Kerangka Teori

Secara sosiologis, perubahan sosial (masyarakat) merupakan perubahan perilaku, hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu.[12] Dalam pemetaan para pakar, lazimnya dinamika perubahan masyarakat atau perubahan sosial secara global dilihat dari tiga gelombang.[13] Gelombang pertama, merupakan potret realitas masayarakat agraris yang masih terbelakang dan nyaris menggunakan sebagian besar kehidupannya secara manual. Gelombang kedua, adalah realitas masyarakat industri. Pada tahap gelombang kedua ini ditandai dengan semaraknya proses industrialisasi. Orang mulai membangun pabrik-pabrik dan belajar spesialisasi, delegasi, dan kemampuan untuk memperbesar skala usaha.

Mereka belajar memecah produksi barang menjadi langkah-langkah individu yang berurutan, lantas memproses bahan mentah melalui ban berjalan sesuai urutan langkah tersebut. Proses ini menghasilkan tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Produktivitas zaman industri meningkat lima puluh kali lipat dari sistem pertanian keluaraga yang ada sebelumnya. Namun menurut Kuntowijoyo, dalam konteks Indonesia, gelombang kedua ini bukan hanya terjadi gerak industrialisasi pada sebagian besar aspek kehidupan, tetapi juga dalam konteks umat Islam menghasilkan perubahan kelas menengah industrial kota, yaitu para profesional, eksekutif, dan akademisi.[14]

Gelombang ketiga, yang disebut era pasca-imdustrial atau era informatika. Dalam gelombang perubahan tersebut, yang paling penting adalah kelas penjual jasa. Mereka adalah orang-orang yang bergerak dalam bidang informatika, media massa, seni, dan intelektual. Menurut Stephen Covey, perubahan yang diakibatkan oleh era informatika adalah lima puluh lipat—bukan dua kali, atau tiga kali, atau sepuluh kali, tetapi lima puluh kali lipat. Nathan Myhrvold, mantan chief technology officer di Microsoft, menjelaskan sebagai berikut, "Para pengembang perangkat lunak peringkat teratas lebih produktif daripada para pengembang perangkat lunak biasa-biasa saja, bukan dengan kelipatan sepuluh kali, atau seratus kali, atau bahkan 1000 kali, melainkan 10.000 kali."[15]

Dalam tilikan Covey, pada era informatika aspek pengetahuan yang bermutu memang begitu berharga, sehingga kalau bisa mendayagunakan potensinya dengan baik akan memberi kesempatan untuk memnciptakan nilai. Kerja pengetahuan mampu mendongkrak semua investasi lain yang sudah dilakukan oleh organiusasi atau keluarga. Pada kenyataannya, para pekerja pengetahuan adalah penghubung ke semua investasi lain yang dilakukan oleh organisasi. Mereka memberi fokus, kreativitas, dan pendongkrak dalam pemanfaatan semua investasi itu agar dapat dengan lebih baik mencapai berbagai sasaran organisasi.[16]

Berhubungan dengan proses perubahan sosial tersebut, dalam paradigma teori sistem, skala perubahan tersebut dapat terjadi dalam tiga tingkat sosial: makro, mezo atau menegah, dan mikro.[17] Pada tingkat makro, yaitu keseluruhan masyarakat dunia (kemanusiaan), seperti sistem internasional, bangsa, dan negara. Pada tingkat mezo, yakni negara bangsa (nation-state) dan kesatuan politik regional atau aliansi militer, seperti perusahaan, paratai politik, gerakan keagamaan, dan asosiasi besar. Sedangkan pada level mikro, merupakan perubahan yang terjadi pada komunitas lokal, seperti keluarga, komunitas, kelompok pekerjaan, dan lingkungan pertemanan. Jadi dimensi perubahan tersebut meliputi spektrum yang sangat luas, mulai dari skala yang paling kecil hingga yang paling besar.

Lebih jauh, komponen-komponen perubahan masyarakat dalam perspektif teori sistem mencakup beberapa aspek berikut:

1. Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).

2. Perubahan struktur (misalnya, terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerja sama atau hubungan kompetitif).

3. Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinisasikan oleh sekolah atau universitas).

4. Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan, dan penaklukan).

5. Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atau organisasi ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah ototaliter).

6. Perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).[18]

Akan tetapi menurut Sjafri Sairin, ada semacam kesepakatan dari para pengamat untuk mengkategorikan masayarakat Indonesia dewasa ini sebagai masyarakat yang berada dalam keadaan transisional. Keadaan itu berkaitan dengan sedang berpindahnya masayrakat Indonesia dari kehidupan agraris tradisional, yang penuh dengan nuansa spoiritualistik dan majik, menuju masyarakat industrial modern yang rasional dan materialistik. Slogan "mengejar ketertinggalan" yang selalu menjadi buah bibir pejabata dan masyarakat, merupakan simbol dari keadaan transisional yang sedang dihadapi oleh masayarakat Indonesia.

Dengan meminjam terminologi Durkheim, "dari masyarakat dengan solidaritas mekanik menuju masyarakat dengan solidaritas organik". Warna kehidupan masyarakat industrial sudah terasa dalam denyut jantung kehidupan masyarakat, tetapi corak kehidupan agraris tradisional belum lenyap sama sekali.[19] Masyarakat berada pada pintu gerbang, "Neither here and nor there", tidak dalam bingkai budaya tradisional dan tidak pula dalam bingkai budaya modern. Untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada kehidupan tradisional tidak mungkin lagi, terutama karena dianggap sudah tidak sesuai dan ketinggalan zaman, tetapi untuk meninggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin, karena model kehidupan baru yang akan dituju pun belum jelas bentuknya. Akibatnya, perilaku masyarakat menjadi sangat ambigu, mencampurbaurkan gagasan lama dengan gagasan baru.

Dalam keadaan masyarakat yang sedang berubah seperti ini secara teoretis akan muncul empat kelompok masyarakat. Pertama, mereka yang berupaya untuk bertahan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lama dalam kehidupan mereka. Kedua, adalah mereka yang cenderung memungut simbol-simbol budaya masyarakat industri maju, sebagai model acuan secara apa adanya tanpa sempat lagi untuk mempertimbangkan fungsinya dalam kehidupan yang sedang mereka jalani. Dalam kelompok ini, termasuk mereka yang sering disebut kelompok "super modern".

Ketiga, adalah mereka yang mampu memadukan dengan serasi kedua gagasan yang berbeda itu secara fungsional dalam kehidupan mereka. Termasuk ke dalam kelompok ini misalnya mereka yang berhasil memadukan perangkat musik tradisional Indonesia dan instrumen Barat secara serasi.

Keempat, adalah kelompok masyarakat yang cenderung mengambil secara sepotong-sepotong unsur-unsur budaya lama dan budaya baru itu secara bersamaan. Namun yang diambil mereka umumnya adalah aspek simbolik materialistik yang melekat pada unsur-unsur gagasan lama dan baru itu, cenderung hanya digunakan untuk kepentingan tertentu saja. Mereka memadukan kedua pola nilai itu bukan karena berkaitan dengan nilai substansi dari gagasan itu, atau dalam rangka kepentingan yang bersifat kreatif, tetapi lebih banyak sebagai akibat dari produk ambiguiti yang sedang mereka derita.[20]

Dalam kerangka inilah, penelitian tersebut akan meneropong kedudukan BP4 sebagai lembaga pembina keluarga di tengah globalisasi, kemajuan teknologi, perubahan nilai serta pergeseran pola hubungan keluarga Indonesia, khususnya di Bangka Belitung dan akhirnya untuk melihat bagaimana cara meningkatkan peran BP4 di masa akan datang.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini berbentuk “studi kasus”, dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif-kualitatif, dengan fokus pandangan masyarakat terhadap sebuah BP4 di KUA Bukit Intan, Rangkui dan Gerunggang Pangkal Pinang. Dalam penelitian ini, BP4 ini akan dilihat dari konteks sosial, pandangan masyarakat terhadap lembaga, kinerja BP4, serta program-program lainnya. Di sini BP4 juga dilihat dari keberadaan lembaga-lembaga yang mempunyai bidang kegiatan yang terkait dengan pendampingan keluarga, maupun perempuan, HAM, kekerabatan dalam keluarga, dan lain-lain.

a. Jenis Pernelitian

Berdasarkan sifat permasalahan yang dikaji yang berupa “sistem sosial dan unit analisis yang diteliti berupa fenomena sosial budaya” penelitian ini diupayakan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.[21] Dilihat dari kecenderungan pokok permasalahan yang akan diteliti, penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam penelitian studi kasus observasi yang hanya bertujuan mengungkapkan kondisi dan pola sosio-kultural masyarakat Rangkui Pangkal Pinang, khususnya Bukit Intan.

b. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam (bakal) penelitian ini terdiri dari tiga macam yaitu: (1) Pejabat yang berwenang yaitu BP4, KUA, PA, dan penghulu. (2). Masyarakat yang bersangkutan yang terdiri dari tokoh agama/ulama/, tokoh adat, serta pasangan-pasangan yang bersangkutan; dan (3) Literatur yang menerangkan konsep/kajian/ulasan yang langsung atau tak langsung berhubungan dengan sistem sosial; berasal dari buku-buku ilmu sosial dan keagamaan, dokumentasi resmi kependudukan, dan berita (koran/majalah/tabloid) lokal.

Data yang diperoleh melalui wawancara tak terstruktur kepada sumber data nomor satu dan dua disebut sebagai data utama/primer dan diupayakan berisi pandangan dari pejabat yang berwenang dan masyarakat yang bersangkutan mengenai sistem sosial dan keluarga terkini, permasalahan perkawinan dan perceraian, peran BP4, serta saran masyarakat terhadap upaya peningkatan peran BP4 di Bangka Belitung. Data yang dihasilkan oleh literatur difungsikan sebagai data pelengkap/sekunder dan digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah pernyataan hasil wawancara.

Secara skematis, sumber data di atas digambarkan sebagai berikut:

JENIS DATA

SUMBER DATA

Pejabat BP4, KUA, & PA, Tokoh agama, & pasangan bersangkutan

Literatur

Primer

Pernyataan dan/atau sikap mengenai sistem social, kekeluargaan, fungsi BP4 dan masalah perkawinan dan perceraian

Buku-buku yang berisikan konsep/ulasan/analisis mengenai sistem social, kekeluargaan, perkawinan dan perceraian, serta ADRT BP4

Sekunder

Pernyataan dan/atau penjelasan mengenai sistem sosial dan masalah yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian

Koran/Majalah/Tabloid lokal yang berisikan deskripsi sistem sosial penduduk lokal dan keluarga di Pangkal Pinang

c. Instrumen Pengumpul Data

Sesuai dengan kualitas data yang dikehendaki berupa informasi mengenai pola pikir dan perilaku dari para informan yang telah ditetapkan, wawancara harus merupakan pilihan utama IPD di samping data pelengkap yang diperoleh dari dokumentasi literatur. Dilihat dari kehadiran dan status peneliti bagi informan, bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara terbuka. Sedangkan dari ruang lingkup masalah yang akan dipertanyakan, pertanyaan wawancara disusun dalam format semi terstruktur.[22] Disebut sebagai wawancara semi terstruktur karena peneliti akan tetap mengajukan pertanyaan yang telah ditetapkan pokok-pokoknya tetapi disesuaikan dengan jenis informasi yang di dapat atau sangat tidak teratur dan informan diberi kebebasan untuk menjawab pertanyaan secara mengalir tanpa interupsi.

d. Analisis Data

Penelitian ini menekankan studi eksploratif yang mengharuskan dilaksanakannya teknik deskriptif-naratif. Studi dan teknik ini mempersyaratkan kemampuan pemahaman dan analisis yang menitikberatkan pengolahan data penelitian ke dalam klasifikasi dan kategorisasi. Data-data primer maupun sekunder yang didapat, diterjemahkan/dinilai, dan dikelompokkan dalam dua prinsip pokok: pola pikir dan tindakan. Data-data tersebut secara detail akan dianalisis ke dalam format analisis taksonomi yang menggunakan klasifikasi dan kategorisasi data sehingga jelas, akurat dan sahih.[23] Data-data sekunder digunakan sebagai pelengkap, penjelas bagi validitas data primer yang diperoleh.

Dalam penelitian ini, karena topik penelitian ini sudah ditetapkan oleh pihak Balitbang Agama Jakarta tahun 2009, maka tim langsung melanjutkan proses ke tahap selanjutnya, yakni pencarian dan pengumpulan data/sumber-sumber. Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga kategori sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Setelah data atau sumber-sumber terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi atau pengujian terhadap ‘otentitas’ dan ‘kredibilitas’ data tersebut. Pengujian dilaksanakan dengan melakukan ‘kritik ekstern’ dan ‘kritik intern’. Kritik ekstern dilakukan dengan mencari perbandingan antarnaskah dan/atau buku utama maupun dengan literatur lain dan hasil wawancara. Sedangkan kritik intern dilakukan dengan melihat sejauh mana keterkaitan data yang tersedia dengan tema-tema penting dalam penulisan ini.

Setelah pengujian dilakukan, tahap berikutnya adalah interpretasi atau penafsiran data primer dan sekunder yang telah terkumpul. Dalam hal ini, dilakukan analisis kualitatif, yaitu dengan melakukan sintesis atas fakta dari data/sumber-sumber dalam tiga kategori tersebut yang telah diuji dan relevan.

Sebagai langkah terakhir, dilakukan penulisan dengan memperhatikan aspek ‘kronologis’ berdasarkan pada kerangka penelitian dan perkembangan obyek penelitian. Bahan-bahan tekstual dan data-data tersebut kemudian dipaparkan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analisis. Jika pendekatan deskriptif berusaha melukiskan dan menjelaskan semua data-data secara sistematis dan objektif,[24] maka metode analisis berupaya melakukan telaah atau penganalisisan terhadap data-data primer dan sekunder tersebut secara analitis.[25] Melalui analisis tersebut diharapkan mampu melukiskan tentang sistem sosial, sistem keluarga, pandangan masayarakat tentang perkawinan, dan perceraian, serta perspektif masyarakat yang sedang berubah terhadap peran, fungsi, dan segala aktivitas BP4 dalam menasehatkan, membina, dan melestarikan perkawinan di wilayah Bangka Belitung.

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilakukan di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini dilakukan selama 4 (delapan) bulan, Mei-Agustus 2009, dengan tahap-tahap: (a) persiapan; (b) konsultasi/koordinasi; (c) penelitian lapangan; (d) penulisan laporan; (e) seminar hasil penelitian; (e) perbaikan/revisi; dan (f) laporan akhir.

H. Langkah Kerja

1. Melakukan diskusi pendahuluan dengan pihak-pihak BP4 yang bertugas di Kanwil, dan KUA, serta beberapa informen, seperti penghulu, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan lainnya dalam mengumpulkan masukan-masukan terkait dengan informasi mengenai data yang berhubungan dengan pelbagai pandangan masyarakat tentang BP4 sebagai sasaran obyek penelitian;

2. Membuat desain penelitian lengkap, mencakup di dalamnya tentang pedoman wawancara dan instrumen penting lainnya;

3. Melakukan dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan person lainnya.

4. Mendata data-data tentang BP4 yang berkaitan perkawinan dan perceraian.

5. Membangun dialog khusus dan pendekatan dengan BP4 di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa setempat dalam rangka meningkatkan peran positif BP4 sebagai penasehat, pembina, dan pelestarian perkawinan di Bangka Belitung.

I. Hasil Penelitian

Secara sosiologis, sistem sosial merupakan sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultural.[26] Sistem sosial juga berarti semua tingkah laku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat.[27]

Pada konteks Bangka Belitung, sistem sosial yang terimplementasi tidak bisa dilepaskan dari sistem budaya Bangka-Belitung yang bercorak asimilatif. Secara spesifik, kebudayaan Melayu tumbuh dan berkembang di Bangka dan Belitung dalam sendi-sendi keislaman yang sangat kokoh dan dinamis. Dominasi Islam yang menjadi landasan kehidupan budaya dan sistem sosial Melayu Bangka-Belitung lebih dihayati dalam nafas dan filosofi "Adat bersendi syarak; dan syarak bersendikan Kitabullah". Ungkapan ini mengirimkan pesan bahwa adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat Bangka-Belitung adalah adat dan tradisi asli Melayu yang serasi dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.[28]

Selain itu, kearifan lokal yang menjadi lambang provinsi kepulauan Bangka-Belitung sebagai pijakan sistem sosial pula yaitu Bumi Serumpun Sebalai, yang mengandung pengertian adanya pluralitas masyarakat di kawasan ini.[29] Begitu pula kearifan lokal yang berupa kata-kata bijak, seperti, "Tong ngin fan ngin jit jong" yang berarti orang Tionghoa atau orang melayu sama saja. Kearifan "Tong ngin fan ngin jit jong" Cina atau melayu sama saja, diimplementasikan oleh masyarakat sebagai pembauran antara etnis Cina dengan etnis melayu dalam berpolitik, berekonomi, dan perkawinan tanpa membedakan agama, suku untuk hidup bersama secara rukun dan berdampingan satu sama lain dalam bingkai kesatuan bangsa.[30]

Dengan sistem sosial yang bercorak melayu, para migran di Bangka-Belitung bukan hanya mereka yang beragama Islam, tapi banyak juga dari non Islam yang diperlakukan sesuai dengan bingkai tradisi dan budaya melayu tersebut. Pergaualn sehari-hari melayu dengan etnis lain dalam interaksi sosial, selalu diperlakukan dengan wajar dan tidak dipaksakan untuk menganut Islam. Interaksi sosial yang ada di Bangka-Belitung berlangsung dalam kegiatan ekonomi, sosial politik, dan keagamaan. Secara umum semua etnis yang ada di daerah perkotaan maupun di pedesaan terlihat dalam kegiatan tersebut, sebagaimana lazimnya kehidupan masyarakat yang saling membutuhkan dan ketergantungan satu sama lain.

Melalui tatanan sosial melayu yang saling percaya dan menjunjung tinggi kejujuran, hubungan antar etnis tidak hanya terbatas dalam kegiatan ekonomi, tetapi menyentuh semua aspek kehidupan sosial politik dan keagamaan, karena hal tersebut merupakan tuntunan dari ajaran islam yang menjadi acuan mayoritas masyarakat dalam kehidupan. Demikian pula dalam kehidupan sosial, di masyarakat berlangsung secara intens antar warga dari berbagai etnis, bahkan ada ketua RT/RW berasal dari non etnis melayu yang diangkat berdasarkan mufakat oleh masyarakat.[31] Semua ini memperlihatkan bagaimana sistem sosial Bangka-Belitung yang bercorak melayu dan bernafaskan Islam bisa menanmpung keragaman etnis dan agama dalam bingkai kedamaian dan keharmonisan.

Selanjutnya dalam konteks masyarakat Bangka Belitung, secara khusus pada wilayah penelitian yang meliputi Depatemen Agama kota Pangkalpinang, Kantor Urusan Agama Bukit Intan, Peradilan Agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat umum, sebenarnya secara garis besar mereka mempunyai perspektif yang sangat positif terhadap perkawinan. Dalam hal ini, pandangan mereka terhadap perkawinan setidakanya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori.

Pertama, walaupun kebanyakan informan dalam penelitian ini tidak mampu menguraikan detil-detil argumentasi teologis tentang perkawinan secara eksploratif, namun sebagian mereka mengakui bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sakral dan sunnah Rasul Saw yang harus dilaksanakan oleh setiap lelaki dan perempuan yang sudah mencapai waktunya (usianya). Sebagian mereka menyatakan bahwa salah satu wujud sakralitas perkawinan adalah harus melalui prosesi ijab dan qabul, dimana tanpa melalaui keduanya proses hubungan antara lelaki dan wanita tidak dapat disebut perkawinan dan dapat dipastikan pula akan kehilangan aura sakralitasnya.

Mereka juga mengemukakan argumen bahwa perkawinan merupakan sunnah Rasul Saw kepada seluruh umat Islam, sehingga siapa saja yang mengamalkannya akan diakui sebagai umatnya dan siapa pun yang tidak mengikutinya tidak dianggap sebagai bagian dari umatnya. Dengan sudut pandang demikian, bagi mereka nyaris tidak ada atau sangat jarang kaum Muslim yang tidak menunaikan perintah perkawinan. Konsekuensi baik dan buruk dari sunnah Nabi tersebut mengantarkan umat Islam melakukan perkawinan dari generasi ke generasi.

Kedua, ada sebagian besar informan pula yang memandang perkawinan secara spesifik sebagai perintah Allah atau perintah agama Islam kepada seluruh kaum Muslim di mana pun mereka berada. Dalam konteks ini, mereka memandang perkawinan merupakan sebentuk ibadah yang secara eksplisit diperintahkan dalam Al-Quran. Secara meyakinkan mereka mengungkapkan bahwa perkawinan tersebut mesti diikat dengan mawaddah, cinta dan rahmah, kasih sayang agar membuahkan sakinah, kedamaian kehidupan rumah tangga.[32] Karena perkawinan juga merupakan ibadah yang diperintahkan oleh agama Islam, maka siapapun yang menjalankannya tentu saja akan mendapatkan pahala dari Allah.

Ketiga, meskipun mayoritas informan mengungkapkan bahwa perkawinan merupakan sunnah Rasul Saw, perintah agama Islam, dan sekaligus ibadah sehingga mempunyai konsekuensi pahala di dalamnya, sebagian kecil di antara mereka juga memandang bahwa perkawinan merupakan tuntutan biologis secara almi antara sepasang lelaki dan perempuan. Siapapun orangnya yang sudah mencapai usia baligh atau remaja, pasti memiliki dorongan dan gejolak seksual terhadap lawan jenis yang harus dipenuhi.

Dalam bingkai perspektif ini, mereka menganggap perkawinan merupakan pintu masuk bagi kehalalan hasrat seksual atau kebutuhan biologis secara alami tersebut pada setiap lelaki dan perempuan. Perspektif minoritas tentang perkawinan sebagai tuntutan biologis ini memang sebagian besar diwakili para informan yang masih berusia relatif muda. Namun pandangan mereka bahwa perkawinan sebagai tuntutan biologis tentu saja tidak menafikan perkawinan sebagai sunnah Rasul saw dan perintah agama. Hanya saja mereka memberi penekanan lebih pada spek kebutuhan biologis yang mendasari dilangsungkannya sebuah perkawinan dari generasi ke generasi.

Sebab mereka menyadari bahwa perkawinan merupakan sunnah Rasul saw dan perintah agama. Akan tetapi kebutuhan biologis antara lelaki dan perempuan yang sudah remaja tau dewasa merupakan fakta instingtual yang ada dalam setiuap diri manusia. Dengan alasan tersebut, agama Islam menjadikan perkawinan sebagai pintu masuk yang menghalalkan sekaligus menjelma ibadah yang bersifat sakral, mulia, agung, dan berpahala.

Melalui eksposisi di atas, terlihat cukup luas spektrum perspektif masyarakat Bangka Belitung dalam memandang perkawinan. Ada sebagian besar yang memandang perkawinan sebagai sunnah Rasul Saw yang harus diikuti oleh seluruh kaum Muslim sebagai umatnya. Ada yang memotretnya sebagai perintah agama (Allah) sekaligus sebentuk ibadah yang membuahkan pahala bagi siapapun yang melaksanakannya. Namun sebagian kecil di antara mereka, ada pula yang membingkai makna perkawinan sebagai sesuatu yang alami dan konsekuensi logis dari tuntutan biologis antara seorang lelaki dan perempuan.

Terlepas dari sekilas perbedaan sudut pandang mereka terhadap perkawinan, namun semuanya secara umum sepakat bahwa perkawinan merupakan perintah agama Islam kepada seluruh kaum Muslim, yang mesti dilakukan melalui proses ijab dan qabul sehingga memiliki makna yang sangat agung, luhur, dan sakral.

Sedangkan pandangan masyarakat Bangka Belitung terhadap perceraian, terbagi pula ke dalam beberapa kategori. Pertama, secara teoretis mereka mengakui bahwa perceraian sangat dilarang dalam agama Islam. Walaupun mereka tidak bisa mengungkapkan ayat dan hadis Rasul Saw secara eksplisit, mereka mengakui bahwa Al-Quran dan hadis Nabi memang melarang terjadinya perceraian antara sepasang suami istri.[33]

Menurut mereka, hal ini dikarenakan bukan saja dalam perkawinan harus melalui kalimat Allah yang bersifat sakral, melainkan pula karena sepasang suami istri sudah menyatu, bukan hanya menyatu secara jasmani, tetapi menyatu secara ruhani. Di samping itu pula, sepasang suami istri telah membuka rahasianya yang paling dalam kepada pasangannya masing-masing yang tidak mungkin diungkapkan kepada siapapun, sehingga perceraian dikhawatirkan akan menyibak kekurangan-kekurangan tersebut.

Kedua, sebagian mereka yang menyatakan pandangan bahwa perceraian memang diperbolahkan atau diizinkan asalkan dengan sejumlah alasan-alasan yang dapat diterima. Dengan alasan ini pula, lazimnya mereka memang sudah mengetahui bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia proses perceraian diizinkan dengan sejumlah alasan berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukum penjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

6. Antara suami dan istri terjadi terus menerus perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak,[34] dan;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Pada konteks masyarakat Bangka Belitung, secara kasuistik sebagian besar mereka yang melakukan perceraian karena adanya sebagian besar alasan-alasan yang diizinkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tersebut. Faktor kekerasan, baik kekerasan biologis maupun psikologis merupakan faktor yang paling dominan dalam menyebabkan perceraian.

Salah seorang Penghulu yang bertugas di Bukit Intan, misalnya, melaporkan bahwa faktor kekerasan rumah tangga yang dilakukan suami kepada istri menjadi penyebab yang paling besar terjadinya perceraian. Begitu pula, para suami yang seringkali mabok minum-minuman keras menyebabkan sang istri mengajukan gugatan cerai, karena sudah tidak tahan dengan perilaku suami.[35]

Laporan tersebut didukung oleh partisipan/informan yang mengalami perceraian bahwa sebagian besar mereka melakukan gugat cerai hingga benar-benar terjadi perceraian disebabkan faktor kekerasan rumah tangga yang dilakukan suami dalam pelbagai bentuknya. Salah seorang informan melaporkan bahwa suaminya acapkali melakukan kekerasan baik fisikal dengan memukul maupun secara lisan, dan ia sudah tidak diberi nafkah selama lima tahun oleh suami. Selain itu, si suami berselingkuh dengan wanita lain, yakni seorang janda muda beranak dua.[36]

Informan yang lain melaporkan bahwa ia melakukan perceraian dengan suaminya karena si suami sudah selama tiga tahun tidak memberi nafkah, seringkali melakukan kekerasan dengan memukul dan kata-kata yang sangat menyakitkan, padahal mereka sudah mempunyai seorang anak yang berusia lima tahun. Menurut sang istri, selama lima tahun ia menumpang dengan tinggal di rumah kakak perempuannya dan selama dua tahun terakhir ketika sudah mendapat pekerjaan ia mengontrak rumah dengan biaya sendiri. Karena alasan-alasan tersebutlah, ia melakukan gugat cerai yang memang diperbolehkan oleh Hukum Islam di Indonesia.

Kendati demikian, ada sebagian kaum pria atau para suami yang mentalak istrinya dan tidak ingin lagi melakukan rujuk untuk selamanya disebabkan sang istri yang sewenang-wenang terhadap suami. Karena istri orang kaya, ia mengatur kehidupan suaminya dan acapkali mengeluarkan kata-kata yang sangat menyinggung harga dirinya sebagai seorang lelaki.[37] Begitu pula menurut laporan dari penghulu di Kantor Urusan Agama Bukit Intan, bahwa ternyata sebagian suami mengajukan talak cerai kepada istrinya disebabkan sang istri seringkali menyinggung perasaan suami dengan kalimat-kalimat yang sangat menyakitkan. Sebagian suami tersebut tidak tahan lagi dengan perilaku si istri yang dengan sewenang-wenang menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang suami.[38]

Namun meskipun sebagian suami ada yang melakukan perceraian terhadap para istri mereka, sebagian besar masyarakat Bangka yang melakukan gugatan perceraian adalah para istri yang sudah tidak tahan lagi dengan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh para suami mereka. Kebanyakan para istri tersebut, dari yang usia perkawinannya masih sangat muda sampai yang usia perkawinannya sudah sangat lama, mengakui bahwa mereka diperlakukan dengan penuh kekerasan oleh suami mereka sehingga jalan terakhir yang ditempuh adalah perceraian.[39]

Dalam kerangka inilah, mayoritas pasangan suami istri yang memandang perceraian diperbolehkan karena mereka memahami alasan-alasan diizinkannya perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam dan secara kasuistik alasan-alasan tersebut memang mereka alami secara faktual. Sebagai konsekuensinya, mereka melakukan talak terhadap si istri dan sebagian besar istri melakukan gugat cerai terhadap suami mereka hingga terjadi perceraian yang mereka inginkan tersebut.

J. Kesimpulan

Dari berbagai paparan mengenai peran BP4 dalam perspektiof masyarakat yang sedang berubah, dapat ditarik beberapa konklusi sekaligus sebagai jawaban bagi permasalahan yang telah dikemukakan di awal sebagai berikut:

1. Sistem sosial yang ada di Bangka-Belitung merefleksikan budaya melayu yang bernafaskan nilai-nilai Islam yang bersikap asimilatif dan mampu menampung puspa ragam perbedaan etnis dan agama sehingga dapat melakukan interaksi sosial dalam pelbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan.

2. Sistem keluarga....

3. Masyarakat Bangka-Belitung memandang perkawinan dalam spektru yang cukup bervariasi, yakni sebagai sunnah Rasul Saw, sebagai perintah agama yang bernilai ibadah, dan merupakan tuntutan biologis setiap lelaki dan perempuan yang sudah memasuki usia remaja, sehingga harus melakukan perkawinan secara sah menurut tuntunan agama.

4. Masyarakat Bangka-Belitung memandang perceraian sebagai sesuatu yang dilarang oleh ajaran agama Islam. Namun sebagian di antara mereka menganggap perceraian masih diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Hukum Islam.

5. Peran BP4

6. Saran

Pelaksana Kegiatan

1. Penanggung jawab kegiatan di Pusat: Balitbang Agama Jakarta.

2. Pelaksana kegiatan di daerah: Tim berjumlah 3 orang yang dibentuk oleh STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik semuanya berasal dari STAIN SAS.

Peneliti: Drs. Rosidi, Darmiko Suhendra M.Ag; Zaprulkhan M.S.I.

Key Informen: KANWIL BP4, SEK-WIL BP4, PA-BP4, KUA-BP4, Penghulu,

Biaya

Biaya penelitian sepenuhnya dibebankan kepada AnggaranDIPA/RKA-KL Balitbang Agama Jakarta Tahun 2009.

Referensi Sementara

Al-Barry, M. Dahlan Yacub Kamus Sosiologi Antropologi, Surabaya: Penerbit Indah, 2001.

A.Widjaja (ed), Manusia, Keluarga dan Masyarakat, Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo, 1986.

Akbar, Ali. Merawat Cinta Kasih. Jakarta: Pustaka Antara, 1997.

Covey, Stephen R. The 8th Habit Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan. Terj. Wandi Brata & Zein Isa. Jakarta: Gramedia, 2005.

Didin Hafidhuddin, “Keunggulan Keluarga Islami”, dalam Jurnal Kajian Islam: Al-Insan No. 3, Vol. 2, 2006.

Dawson, Catherine. Practical Research Methods. Oxford: How To Books, 2002.

Faisal, Sanapiah. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asih, 1990.

Goode, William J. Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

Hasan, Iskandar. Bangka Belitung Menuju Masa Depan. Tanggerang: Yayasan At-Tawwaah, 2009.

Ishak, Hikmat Kepulauan Bangka Belitung. Sungailiat: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka, 2002.

Koentjaraningrat dkk. kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005.

Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995.

Nawawi & Mimi Martiwi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: UGM Press, 1996.

Nasution. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan Jakarta: Prenada Media, 2004.

Ridwan, Deden (ed.). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Bandung: Nuansa, 2001.

Suhendi dan Ramdani Wayu, Hendi. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Suwondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia: Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Shihab, Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, 1997.

Sairin, Sjafri. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Terj. Alimandan. Jakarta: Prenada Media, 2008.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Bandung: Rineka Cipta, 1990.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.

Tony S., A.Made dkk. Di Tengah Hentakan Gelombang: Agama dan Keluarga dalam Tantangan Masa Depan, Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei, 1997.

Tofler, Alvin. Gelombang Ketiga. Terj. Sri Koesdiyantiah. Jakarta: Pantja Simpati, 1992.



[1] Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan 1997), h. 253.

[2] Menurut Dit. Peradilan Agama Ditjen Binbaga Islam, penyebab terbesar adalah ketiadaan keharmonisan dalam keluarga (32-36%), tidak ada tanggung jawab (32-37%), krisis akhlak (1–9%), penganiayaan (0,54-0,90%), kemudian disusul oleh poligami tidak sehat, cemburu, kawin paksa, kawin di bawah umur, dihukum, cacat biologis, dan politis. Sumber: Analisys Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian, Dit. Pembinaan Badan Peradilan Agama Ditjen. Binbaga Islam Departemen Agama, 1990.

[3] Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Pt.RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 534

[4] Ibid.

[5] Baca A. Made Tony S. dkk, Di Tengah Hentakan Gelombang: Agama dan Keluarga dalam Tantangan Masa Depan, Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1997. hal v.

[6] Nuclear family, keluarga konjugal: keluarga yang terdiri atas suami, isteri, beserta anak-anaknya.

[7] Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 201, hal. 166-167.

[8] Berdasarkan Keputusan Menteri Agama, BP4 merupakan satu-satunya lembaga penasehatan di lingkungan Departemen Agama. Artinya, hanya calon suami-isteri yang telah diberi nasehat BP4 kecamatan, boleh menikah di KUA. Demikian pula sebelum 1989, hanya pasangan-pasangan yang telah didamaikan oleh BP4 kabupaten/kota yang boleh mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama.

[9] Baca huruf (e) angka (4) Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[10] Pendekatan hukum terhadap perkara perceraian oleh Pengadilan Agama menimbulkan ketegangan hubungan antara pengadilan dengan BP4. Dan ketegangan ini mencapai puncaknya setelah pembinaan yuridis dan pembinaan administrasi Pengadilan Agama dilakukan oleh Mahkamah Agung.

[11] Hasil wawancara dengan Syarifuddin M.Ag, Sekretaris Wilayah BP4 Pripinsi Bangka Belitung, di Kantor Wilayah, hari rabu, 20 Mei 2009.

[12] Makna tentang perubahan masyarakat atau sosial ini mempunyai berbagai pengertian dari pelbagai ahli. Lihat Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 5.

[13] Etape-etape perubahan masyarakat yang dikonstruk dengan istilah "gelombang" (wave) merupakan konstruksi Alvin Tofler, yang kemudian diadopsi oleh sejumlah ilmuwan meskipun dengan sedikit penambahan, termasuk oleh Kuntowijoyo dan Nurcholish Madjid. Lihat Alvin Tofler, Gelombang Ketiga, terj. Sri Koesdiyantiah (Jakarta: Pantja Simpati, 1992). Mengenai Madjid, lihat dalam Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), h. Ixxi-Ixxii.

[14] Kuntowijoyo juga membagi tiga fase perkembangan perubahan masyarakat: masyarakat agraris, industri, dan pasca industri. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), h. 141 & 219.

[15] Stephen R. Covey, The 8th Habit Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan, terj. Wandi Barata & Zein Isa (Jakarta: Garamedia, 2005), h. 24.

[16] Ibid.

[17] Sztompka, Sosiologi Perubahan..., h. 2-3.

[18] Ibid., h. 4.

[19] Dalam pemetaan Kuntowijoyo pun ia mengakui bahwa gelombang ketiga kehususnya belum benar-benar menjelma dalam masyarakat Indonesia, karena kondisi sosial masyarakat Indonesia masih berada dalam proses perubahan dari masyarakat industri menuju masyarakat pasca-industrial. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa..., h. 219-220.

[20] Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 172-174.

[21] Suprayogo & Tobroni (eds.), Penelitian Sosial & Agama (Bandung: Rosdakarya, 2003), h. 137.

[22] Catherine Dawson, Practical Research Methods (Oxford: How To Books, 2002), h. 28-29. Untuk lebih luasnya bandingkan dengan Nasution, Metode Research (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 113-128.

[23] Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Malang: Yayasan Asih, 1990), h. 98-101.

[24] Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 58-59.

[25] Hadari Nawawi & Mimi Martiwi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: UGM Press, 1996), h. 73-74; Jenis penelitian analitik ini, lebih fungsional dalam pengembangan pengetahuan dan lebih efektif sebagai sarana edukatif bagi penelitian akademik. Lihat Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Deden Ridwan (ed.), (Bandung: Nuansa, 2001), h. 83.

[26] George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 124.

[27] Koentjaraningrat dkk., kamus Istilah Antropologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 172.

[28] Hikmat Ishak, Kepulauan Bangka Belitung (Sungailiat: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka, 2002), h. 104-106.

[29] Iskandar Hasan, Bangka Belitung Menuju Masa Depan (Tanggerang: Yayasan At-Tawwaah, 2009), h. 60.

[30] Disadur dari Herman Faizuddin, Pembangunan Kerukunan Antar Etnik dan Agama di Bangka Belitung, yang dipresentasikan di LPMP, 22 Juni 2009, h. 4-5.

[31] Faizuddin, pembangunan Kerukunan…, h. 6-8.

[32] Walaupun mereka tidak menyebut ayatnya secara eksplisit, dalam surat ar-Rum ayat 21 memang disebut sebagai berikut, "Di antara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu masing-masing memperoleh ketenteraman dari pasanganmu (litaskunu) dan dijadikannya di antara kamu cinta (mawaddah) dan kasih saying ( rahmah). Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".

[33] Tampaknya hal ini berpijak pada ayat berikut, "Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, tetapi Allah menjadikan padanya di balik itu kebaikan yang banyak" (QS. An-Nisa': 19). Sedangkan hadis yang melarng perceraian berbunyi demikian, "Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah, ialah perceraian" . Dikutip dari buku Ali Kabar, Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka Antara, 1997), h. 47.

[34] Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Dikutip dari buku Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 227.

[35] Hasil wawancara di Kantor Urusan Agama Bukit Intan, Senin, 15 Juni 2009.

[36] Hasil wawancara di kantor Peradilan Agama pangkalpinang, Rabu, 1 Juli 2009.

[37] Hasil wawancara di kantor Peradilah Agama, Rabu 1 Juli 2009.

[38] Hasil wawancara di Kantor Urusan Agama Bukit Intan, Senin, 15 Juni 2009.

[39] Hasil wawacara di Kantor Peradilan Agama, 8, 15,& 16 Juli 2009.

2 komentar:

  1. Casino Site Review and Ratings by LuckyClub
    Find out everything you need to know about the Casino Site in our comprehensive review. Lucky Club is a popular online casino where you can deposit,  luckyclub.live Rating: 6.9/10 · ‎Review by LuckyClub.live

    BalasHapus
  2. Borgata Hotel Casino & Spa Launches Mobile Sports Betting
    Borgata 순천 출장안마 Hotel Casino & Spa 구리 출장마사지 is the first 양산 출장안마 casino resort in Atlantic City to 목포 출장마사지 officially offer legal sports 강원도 출장샵 betting, joining several other major casinos

    BalasHapus